JAKARTA (DP) – Turing bertajuk ‘Ride into the Sunrise’ bagi Freddy Soemitro bukanlah sebagai ajang unjuk kemampuan kepada rekan-rekan seusianya. Dengan usia yang tidak lagi muda, Freddy coba mematahkan stigma bahwa umur tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk menggeluti hobinya.
Dengan usia lebih dari 60 tahun saat turing ini dilakukan, bagi Freddy, berpetualang menggunakan sepeda motor adalah perpaduan yang selalu menarik untuk dilakoni. Pria yang saat ini menjabat sebagai Dewan Penasihat pada kepengurusan IMBI DKI Jakarta Periode 2015-2019 ini coba menguji fisiknya untuk menjelajahi Tanah Air kembali.
Atas dasar inilah, tepat pada 19 September 2016, dengan didampingi rekan sesama penyuka adventure, dirinya menghela Royal Enfield Classic 500 menuju Timor Leste dengan titik start dari Cikampek, Jawa Barat.
Secara jalur perjalanan, total rute yang dijalankan Freddy hingga sekitar 5.800 km. Hamparan pesona keindahan alam, tradisi masyarakat, legenda hingga sejarah dari tiap-tiap wilayah menjadi magnet tersendiri bagi dirinya.
“Hobi riding membuat saya selalu merasa muda. Perjalanan menelusuri Pulau Jawa hingga Timor Leste memang sangat mengesankan dan penuh dengan tantangan,” buka Freddy, dalam siaran resminya, Rabu (9/5) lalu.
Freddy mengaku selalu merasa penasaran dan semangat untuk mengambil tantangan baru dan tentu saja menyelesaikannya. Oleh karena itu, Freddy pun melewati rute jalan yang terbilang jarang dilewati. Berikut kisah keseluruhan perjalanan Freddy.
Melintasi Eloknya Pulau Jawa hingga Pulau Dewata
Dengan Royal Enfield Classic 500, sebuah motor tangguh dengan gaya klasik khas perang dunia yang konon telah terbukti hingga ke medan pegunungan Himalaya, kami memulai perjalanan di pagi hari, Senin, 19 September dari Cikampek menuju Solo dengan total jarak sekitar 500 km. Kami melewati jalur Pantura, ke arah Semarang sampai akhirnya tiba dan bermalam di kota Solo.
Di hari ke-2, kami melanjutkan perjalanan menuju Malang melalui medan-medan tanjakkan dari wilayah Madiun, Kertosono, Pare, sampai ke Batu. Selama perjalanan ini, kondisi motor yang kami tunggangi cukup kuat dan aman, tidak ada 1 baut pun yang kendur padahal medan yang dilewati cukup ekstrem. Berselimutkan udara dingin, kami pun beristirahat kembali di wilayah Batu, Malang, untuk mempersiapkan diri sebelum keesokan harinya melanjutkan petualangan kami.
Di hari berikutnya, kami memilih untuk melalui jalan umum guna mempercepat waktu tiba di destinasi selanjutnya, Denpasar, Bali, selambatnya pukul 18.30 WITA. Di Bali kami kembali beristirahat serta melakukan pengecekan motor dan memulihkan stamina.
Setelah 2 hari jelajah Pulau Dewata, kami melanjutkan perjalanan ke kota Mataram, Lombok. Perjalanan dari Denpasar ke Mataram kami tempuh selama kurang lebih 4 jam. Rasa pegal mulai terasa, namun kelelahan kami terbayar oleh kehangatan Lombok dengan atmosfir alam yang hijau.
Di Pulau Seribu Masjid ini, kami diundang oleh Komunitas Royal Enfield yang akrab dikenal dengan “The Green Team” untuk menghabiskan malam bersama. Obrolan seputar kegiatan komunitas motor di sekitar Bali dan Lombok menjadi agenda utama pertemuan kami malam itu dengan alunan musik yang diakhiri dengan makan malam bersama.
Menantang Kabut dan Hujan di Maumere
Seusai Lombok, kami melanjutkan perjalanan menuju Sumbawa Besar dengan menempuh jarak sepanjang kurang lebih 220 km. Kami pun kembali berjumpa dan menyempatkan diri untuk bersenda gurau sejenak bersama komunitas motor setempat sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo.
Sesampainya di sana, yang merupakan salah satu desa di kecamatan Komodo ini, kami mampir sejenak mendaki bukit untuk melihat kehidupan komodo dan berfoto-foto. Perjalanan dilanjutkan menuju Bajawa, kota kecil di daerah Flores. Disana kami melihat panorama langka yaitu desa yang dikelilingi pemandangan gunung volkano.
Keesokan paginya, kami lanjutkan perjalanan dari Bajawa menuju Maumere dengan ekspektasi melihat sunrise di Gunung Kelimutu. Namun tak disangka, di tengah perjalanan kami menemui cuaca berkabut dengan densitas cukup tebal disertai hujan.
Akhirnya, kami berhenti sejenak di wilayah Ende, karena terhalang oleh jalanan yang tertutup longsor untuk melanjutkan kembali perjalanan di malam hari. Di tengah udara dingin yang menusuk, flu menyerang, serta kabut serta hujan gerimis menghalangi kami untuk mempercepat laju menuju Maumere.
Mengantisipasi kondisi seperti ini, saya sempat melakukan sedikit modifikasi terhadap motor Royal Enfield dengan meninggikan handle bar serta mengatur posisi duduk senyaman mungkin sebelum berangkat. Karakter motor yang luwes dan fleksibel memudahkan saya untuk memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan.
Akhirnya kami sampai juga di Maumere pada tengah malam. Setelah beristirahat, keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan ke Larantuka dan pada pukul 10 pagi, kami harus mengirimkan motor ke Kupang dengan menggunakan Kapal Ferry karena harus menyeberangi lautan yang pelayarannya memakan waktu sekitar 18 jam.
Pada sore hari, saya langsung berangkat ke Kupang dengan pesawat. Keesokan harinya di Kupang, kami bergegas mengambil motor di pelabuhan untuk melanjutkan petualangan kami.
Dihadang Polisi Timor Leste
Selama di Kupang kami sempat bertemu dengan teman-teman sesama pencinta motor, dari Asosiasi Bikers Kupang (ASBAK). Sambil menikmati keindahan kota Kupang yang masyarakatnya dipenuhi berbagai suku bangsa ini, kami saling bertukar informasi mengenai pengalaman dan keseruan riding dengan sesama bikers.
Kami juga mengikuti lunch party bersama para bikers di lokasi kebun sebelum melanjutkan riding menuju Atambua. Perjalanan ke Atambua dilalui dengan melewati jalan nasional sepanjang 270 kilometer melintasi jalan perbukitan berkelok yang sangat menantang.
Sekeliling kami tampak pemandangan unik berupa rumah-rumah adat khas budaya Nusa Tenggara Timur (NTT), namun penerangan jalan yang cukup minim menjelang malam hari membuat kami harus ekstra hati-hati.
Kami sempat tersesat di perjalanan ketika tiba di Kota Kefamenanu karena salah mengambil arah jalan. Setelah melintas sejauh 28 kilometer, kami menemui perbatasan daerah yang tidak seharusnya kami lewati, yakni wilayah Oecusee.
Di sini kami berhadapan dengan pihak berwajib yang menjaga kawasan ini dengan cukup ketat. Kami sempat bersitegang dengan petugas setempat karena dicurigai dan tidak diperkenankan masuk ke wilayah tersebut.
Akhirnya, kami berputar arah kembali menuju Atambua hingga akhirnya tiba di titik Pos Lintas Batas Negara Republik Indonesia dan Timor Leste. Kami disambut langsung oleh salah seorang kerabat kami di Timor Leste, Paolo Martin. Olehnya, kami diberi keistimewaan untuk menginap di hotel dengan lokasi yang bersebelahan dengan kediaman Xanana Gusmao, Presiden Pertama Timor Leste.
Setelah puas menjelajah kota Dili ibukota Timor Leste selama dua malam, kami pun kembali ke Atambua untuk menuju ke Kupang. Sesampainya di Kupang, kamipun mengirimkan motor yang kami gunakan ke Surabaya dengan menggunakan kapal Ferry, dan kemudian kami mencari tiket online pesawat untuk terbang pulang ke Jakarta.
Perjalanan ini menandai halaman baru dalam catatan riding, khususnya turing di Indonesia. Sebagai seorang rider senior, Freddy sudah pernah merasakan turing ke Eropa, Himalaya hingga Selandia Baru. Namun sensasi berkendara di Tanah Air tetap menjadi rute unggulan dengan hamparan panorama keindahan sepanjang perjalanan.
“Motor Royal Enfield Classic 500 yang dikendarai juga menjadi salah satu faktor keberhasilan perjalanan saya kali ini. Dengan performa mesin dan ketahanannya yang baik, motor ini sangat handal. Saya dapat memacu kecepatan hingga top speed 120 kilometer per jam dengan manuver yang masih terasa ringan dan nyaman. Perjalanan dengan total jarak 5.800 kilometer ini merupakan salah satu pengalaman riding yang tidak terlupakan bagi saya,” tutup Freddy. [dp/MT]